"Jangan Percaya Air Mata Ibu, Nak..."
Muhammad Farahat adalah pelaku aksi syahid termuda di Palestin. Usianya baru menjangkau 17 tahun. Sang ibu yang diwawancarai oleh wartawan sebuah televisyen mengatakan, "Keberanian telah tumbuh hebat dalam diri Muhammad, Aku telah katakan padanya: 'Ibu ingin engkau berperang dengan senjata, bukan dengan batu. Dan sejak itulah ia mengumpulkan wang untuk membeli senjata...'"Aku telah memberi ;wasiat kepadanya sejak 10 tahun terakhir. Aku selalu mendorongnya untuk selalu berinteraksi dengan para anggota Izzuddin Al Qassam dan melakukan serangan bom syahid di jantung Israel, Tel Aviv.
Hari terindah bagiku adalah ketika Muhammad datang kepadaku membawa senjata. la datang untuk menyenangkan hatiku dan mengatakan bahawa dia kini telah menjadi seorang dewasa yang boleh terlibat dalam aksi bom syahid, sebagaimana jalan yang telah ditempuh oleh Imad Aqil, salah satu pejuang Izzuddin AI-Qassam.
Sejak awal, aku ajarkan padanya agar ia selalu terbuka dan tidak menyembunyikan rahsia apapun tentang rencana jihadnya sehingga saya dapat menambah keberanian, memotivasi dan mempersiapkan kekuatannya. Bulan Ramadan 1422, ia datang dan membawa berita gembira bahawa ia telah bergabung dan diterima dalam Batalion Al Qassam dan ia katakan dirinya telah dinyatakan siap melakukan operasi bom syahid.
Aku tidak mengingkari bahawa awalnya aku diliputi rasa takut. Tapi aku terus meyakinkan diri untuk mempersiapkan hari-hari terakhir bersama Muhammad. Begitupun aku tetap khuatir andai dia gagal dalam melakukan aksi bom syahid,dan ditangkap sebagaimana yang dialami abangnya, yang kini merengkok di penjara Israel.
Sebelum aksi dilakukan, ia bercerita bahawa ada perbezaan soal siapa yang akan melakukan serangan. Menurutnya, ada dua pilihan antara dirinya dengan rakannya bernama Muhammad Hils. Mendengar hal itu, aku segera bertemu dengan seorang pimpinan aksi dan meyakinkan bahawa saya telah ikhlas mencalonkan anakku memperoleh syahadah dan kemuliaan jihad. Saat itu, aku benar-benar berusaha mengalahkan sentimen batin seorang ibu kepada anaknya, Tapi aku yakin siapa pun yang ingin menuju Allah dan menang dengan memperoleh syurga maka ia harus memberikan yang termahal yang dimilikinya. Muhammad adalah milik saya yang paling mahal.
Detik-detik sebelum ia melakukan aksi syahid, aku memintanya bercerita satu minggu terakhir tentang persiapan yang ia lakukan. Ketika itu. aku tidak dapat membendung air mata. Aku kalah oleh sentimen seorang ibu, Aku menangis di hadapannya. Tapi aku katakan padanya, "jangan percaya dengan air mata ibu, nak. Ini adalah air mata bangga menjelang pertemuan anaknya dengan bidadari. Pergilah ke pada Rabbmu. Berjihadlah. Tetaplah seperti itu sampai engkau bertemu Allah swt...."
Saat hari operasi datang, ia pergi ke selatan Ghaza, setelah mengucapkan perpisahan dengan sejumlah rakannya. Aku berdoa dengan penuh ikhlas. Muhammad sempat menghubungiku melalui telefon dan mengatakan ia akan mulai memasuki wilayah pemukiman Yahudi sekarang.. Itulah hal terakhir yang kami lakukan.Aku benar-benar memasuki ujian terberat. Perang antara prinsip yang kuyakini dengan perasaan seorang ibu. Enam jam sepertinya waktu yang sangat lama. Aku seperti layaknya seorang ibu yang menyaksikan anaknya mati perlahan lahan. Hatiku bergetar. Tapi aku tetap berdoa agar ia memperoleh mati syahid dan operasi yang dilakukannya sukses sesuai rencana."
(Petikan dari Majalah Tarbawi)
No comments:
Post a Comment